Menu Close

Empathy Based Policy: Sebuah Opsi dalam Perumusan Kebijakan Pelayanan Publik

Desy Maritha, Analis Kebijakan Ahli Muda di Pusat Pelatihan dan Pengembangan dan Kajian Hukum Administrasi Negara, Lembaga Administrasi Negara

Dalam dunia analisis kebijakan, tahapan proses formulasi dan penyusunan kebijakan kita tidak luput istilah Evidence Based Policy. Hal ini merepresentasikan bahwa dalam prosesnya, formulasi kebijakan harus diawali dengan ketersediaan data yang valid dan reliable sebagai dasar dalam menganalisis sebuah kebijakan.

Di samping peran data yang valid dalam penyusunan kebijakan, ada hal penting sering terluput dari proses penyusunan kebijakan, yaitu rasa empati. Dalam sebuah kuliah umum, Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengungkapkan bahwa, hal yang tidak bisa diganti oleh alat dan teknologi adalah kemampuan critical thinking dan rasa empati.  Merujuk dari referensi internasional, beberapa buku dan studi independen yang dilakukan di beberapa negara telah mengungkapkan pentingnya rasa empati dalam sebuah kebijakan, khususnya pelayanan publik.

Berdasarkan KBBI, empati adalah keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. Molenberghs (2017) dalam tulisannya mengelaborasi bahwa empati adalah kemampuan untuk berbagi dan memahami emosi orang lain. Empati berkaitan dengan perilaku sosial dan beberapa studi membuktikan bahwa empati yang lebih besar mengarah pada perilaku yang positif. Hal ini menjadi penting karena berpengaruh pada tepat atau tidaknya dalam merespons suatu keadaan.

Empati dan Pelayanan Publik

Prasetya (2022) dalam tulisannya menyebutkan terdapat dua peran penting empati dalam administrasi publik, yaitu mencegah egoisme yang akan mewujudkan kesetaraan. Hal ini karena Empathetic Public Policy memastikan bahwa dalam proses perumusan kebijakan, kolaboratif  antara masyarakat dan perumus kebijakan berjalan sebagaimana mestinya. Berikutnya, kebijakan yang dihasilkan akan bersifat inklusif khususnya dalam konteks lingkungan dimana kebijakan tersebut akan diterapkan. Hal ini pula yang akan mewujudkan pelayanan publik yang inklusif dan berkeadilan.

Peran kedua adalah empati sebagai moral imagination, yang mampu meningkatkan efektivitas pelayanan publik. Kebijakan publik yang efektif adalah kebijakan yang berkeadilan dengan terwujudnya kelembagaan yang demokratis, terciptanya toleransi tanpa menyebabkan adanya kerenggangan secara politis.

Peran ketiga, empati akan memberikan persepsi yang berbeda dari masyarakat bagi penyusun kebijakan. Kebijakan yang empatik akan mengantisipasi kondisi “penderitaan” yang dihadapi oleh masyarakat.

Di sisi lain, studi yang dilakukan oleh Tracy untuk Forbes (2022) mengungkapkan bahwa di sektor bisnis, prioritas terhadap keterampilan “sense of empathy” menjadi sesuatu yang krusial bagi kepemimpinan. Studi tersebut menyebutkan bahwa betapa pentingnya empati di setiap hal, mulai dari inovasi hingga retensi. Beberapa alasan yang menyebutkan mengapa rasa empati itu sangat penting didukung oleh beberapa faktor, khususnya di era pandemi seperti saat ini. Faktor pertama adalah pentingnya bagi kesehatan mental. Studi global yang diprakarsai oleh Qualtrics menemukan 42 % orang telah mengalami penurunan kesehatan mental, dan hal ini diakibatkan oleh peningkatan stres selama pandemi.

Kedua, stres yang meningkat juga menyebabkan turunnya kinerja sebuah organisasi Hal ini didukung oleh studi yang dilakukan Georgetown University yang menemukan bahwa ketidaksopanan dan penerimaan sikap yang kasar dalam sebuah organisasi berkontribusi pada penurunan kinerja dan kolaborasi, dan menurunnya omset bisnis. Namun, empati memiliki kekuatan sebagai penangkal bagi masa-masa sulit dan berefek positif, serta mendorong kebahagiaan bagi individu di tempat kerja. Hal ini pun didukung oleh studi yang dilakukan oleh Catalyst yang mengambil sebanyak 889 karyawan di suatu lingkungan kerja. Studi tersebut mengungkapkan bahwa empati berperan besar dan memiliki efek konstruktif yang signifikan terhadap: meningkatnya inovasi, hal ini berpengaruh hingga 61 % karyawan yang lebih inovatif dengan kepemimpinan yang lebih berempati, dibandingkan dengan 13 % karyawan dengan kepemimpinan yang kurang empati.

Ketiga, dari sisi individu, yaitu meningkatnya kualitas kehidupan kerja  menjadi impact yang positif dari tingginya empati. Hal ini terbukti dari sebanyak 86 % dari hasil survey yang merepresentasikan, bahwa individu-individu tersebut mampu memenuhi kewajiban mereka, dan mereka mampu mengatasi tuntutan di lingkungan pekerjaan dan kehidupan.

Diantara berbagai sisi positif terkait dengan kebijakan publik yang berorientasi pada rasa empati di atas, terdapat sebuah pendapat yang kontra, yaitu kerap rasa empati menimbulkan bias, karena hal ini hanya berlaku pada sekelompok orang tertentu, seperti orang-orang yang menarik atau yang kondisinya mirip dengan kita. Hal ini juga dirasakan akan berdapak negatif dalam jangka panjang, dikarenakan rasa empati tidak bisa  dideskripsikan secara luas melalui data statistik dan perbedaan numerik. Hingga pendapat yang menyatakan bahwa, kebijakan yang berorientasi pada masyarakat akan lebih adil bila kita mengenyampingkan empati. Karena kita tahu bahwa tingkat empati yang tinggi tidak membuat seseorang menjadi otomatis baik, dan begitu pula dengan empati yang rendah juga tidak otomatis menjadikan seseorang jahat.

Kebijakan Publik yang Berbasis Empati

Dalam tulisan di sebuah platform media sosial yang mengangkat isu Desa Wadas, Jawa tengah, menyebutkan bahwa kebijakan publik yang semestinya adalah kebijakan yang memiliki peran sebagai solusi dari sebuah masalah, dengan tujuan mengedepankan pencapaian kesejahteraan rakyat. Tetapi, dalam prosesnya juga tidak luput dari tantangan yang dihadapi, yaitu masih ada kesenjangan pemahaman antara pembuat kebijakan dan masyarakat mengenai apa yang menjadi kebutuhan masyarakat sendiri dalam mencapai kesejahteraan. Lebih lanjut, bahwa salah satu rekomendasi agar kebijakan publik dapat berfungsi dan berjalan dengan tepat sasaran adalah dengan penyusunan kebijakan publik yang perlu berdasarkan empati. Empati membuat perumus kebijakan mampu memahami kebutuhan dari persepsi dan sudut pandang masyarakat yang langsung merasakan kondisinya, daripada kebijakan yang diformulasikan berdasarkan kepentingan pribadi/ kelompok tertentu.

Esensi dari kebijakan berbasis empati adalah keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan yang tepat sasaran. Beberapa rekomendasi untuk mendorong kebijakan yang menyejahterakan masyarakat melalui empati adalah melalui pemahaman secara komprehensif terhadap apa yang menjadi kebutuhan masyarakat, perumus dan pelaksana kebijakan publik mampu mengambil langkah yang tepat sasaran, serta dengan kolaborasi pembuat kebijakan dan masyarakat yang dapat membuat kebijakan publik memenuhi fungsinya: yaitu pencapaian kesejahteraan masyarakat.


Kesimpulan

Empati sudah seharusnya mendukung hubungan yang positif dan budaya organisasi yang juga mendorong kinerja dan output yang dihasilkan. Empati bukan keterampilan baru, tetapi memiliki peran yang krusial berdasarkan beberapa studi yang dilakukan. Hal ini juga memperjelas bagaimana seharusnya seorang pelayan publik dan perumus kebijakan bisa menggali, mengembangkan dan memanifestasikan komampuan empati, baik saat ini maupun di masa yang akan datang. Karena sejatinya kebijakan yang diformulasikan dengan sikap empati dan pemahaman secara komprehensif, bertujuan untuk dapat memahami, memprediksi secara akurat, serta melihat pengaruhnya terhadap perilaku masyarakat.

Skip to content