Menu Close

Tantangan Widyaiswara Semakin Besar, Jadikan Refleksi untuk Semakin Ambil Peran dalam Pengembangan Kompetensi ASN

Jakarta – Seiring dengan perkembangan zaman, profesi Widyaiswara (WI) memiliki tantangan yang semakin berat, diantaranya keraguan banyak pihak tentang pentingnya keberadaan dan kontribusi WI, tuntutan sektor publik untuk senantiasa berubah dan bertransformasi, serta transisi generasi. Hal tersebut disampaikan oleh Deputi Bidang Kajian Kebijakan dan Inovasi Administrasi Negara, Dr. Tri Widodo Wahyu Utomo, M.A., pada Pembukaan Pelatihan Penguatan Widyaiswara Perpindahan Jabatan/Promosi Angkatan II Tahun 2024, secara daring, Rabu (28/02).

 “Widyaiswara menjadi profesi yang semakin berat. Tantangannya semakin besar. WI seringkali diberikan evaluasi oleh peserta sebagai kelompok yang tidak knowledgeable. Tentu keraguan-keraguan itu harus menjadi refleksi untuk membuktikan bawa kita adalah kelompok terdidik, yang memiliki modal pengetahuan yang bisa mendorong inovasi dan pengetahuan,” ujar Tri Widodo.

Selain itu, seiring dengan semakin tingginya tuntutan untuk melakukan berbagai perubahan dan perbaikan yang signifikan di sektor publik membuat inovasi saja menjadi tidak cukup. Tri Widodo menekankan bahwa para Widyaiswara harus bisa mengambil peran dalam transformasi tersebut. “Inovasi saja saat ini sudah tidak memadai. Bagaimana WI bisa berperan dalam transformasi sektor publik. WI harus bisa menciptakan pola kerja co-creation dan co-production. WI bukan hanya berperan sebagai coach di pelatihan,” jelasnya.

Selanjutnya, Tri Widodo juga memaparkan bahwa transisi generasi akan berimplikasi pada perubahan perilaku dari generasi tersebut. Oleh karena itu, WI harus menyadari betul realita saat ini merupakan proses transisi generasi. Widyaiswara pada umumnya merupakan generasi X atau baby boomers. Transisi generasi selalu berimplikasi pada perubahan perilaku dari generasi itu, budaya kerja, belief system dan sebagainya. Selain itu WI juga ditantang untuk dapat beradaptasi sekaligus belajar mengadopsi gaya baru tersebut. Untuk itu WI harus melakukan rescaling, bukan hanya upskilling terhadap kompetensi dan kapasitasnya.

“Widyaiswara juga harus bisa menjadi panutan dan contoh yang baik. Bukan hanya mencontoh kompetensinya dan ilmu-ilmunya, tetapi juga bagaimana guru bangsa bisa menunjukan karakter perilaku yang tidak tercela. Perilaku, menjadi faktor yang sangat penting,” tutupnya.

Dalam laporan penyelenggaraannya, Ria Veriani, Analis Kebijakan Ahli Madya, Pusat Pengembangan Kompetensi Teknis Sosial Kultural, menyampaikan bahwa pelatihan yang diperuntukan bagi 40 orang peserta widyaiswara yang akan pindah jabatan/promosi ini akan diselenggarakan selama 15 hari pelatihan. Para peserta akan dibekali pengetahuan agar mampu melaksanakan tugas sesuai dengan kompetensi yang dipersyaratkan, diantaranya: memahami strategi kebijakan, Pendidikan Orang Dewasa, Etika Widyaiswara, Evaluasi Pembelajaran, Komitmen Kelas, Komunikasi Efektif, dan Microteaching. (humas)

 

 

Skip to content